Gerakan Fundamentalisme Agama: Akar Konflik Dunia Yang Berkepanjangan

Oleh: M. Yasif Femi Mifthah

@yasif_mfth

Pendahuluan
Salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad ke-20 adalah munculnya apa yang disebutkan dengan “fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan dunia. Fundamentalisme menjadi wacana yang belakangan memperoleh perhatian luas. Segala bentuk kekerasan atas nama agama atau kelompok akan selalu dikaitkan dengan gerakan fundamentalisme.
Eksistensi fundamentalisme menguat ketika desakan modernitas dengan berbagai produknya, termasuk budaya, mengalir dengan deras. Tidak jarang cara kekerasan diabsahkan, sehingga kemudian fundamentalisme sering disejajarkan dengan terorisme. Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Dalam konteks inilah, perbincanagan terhadap fundamentalisme khususnya fundamentalisme Islam kembali menguat pasca serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat dan Bom Bali di Indonesia.
Menurut Bassam Tibi, fundamentalisme merupakan gejala ideologis yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fargmentasi, dan benturan peradaban. Namun dalam perkembangan selanjutnya, agitasi fundamentalisme mengakibatkan kekacauan di seluruh dunia.
Memang tidak gampang mendefinisikan istilah fundamentalisme untuk masa kekinian. Sebab, term fundamentalisme dipakai oleh banyak kalangan untuk menunjuk sesuatu dalam arti, maksud, dan tujuan yang berbeda-beda, bahkan terkadang bertentangan. Tak ayal, interpretasi yang tumpah pun beragam.
Secara etimologi, istilah fundamentalisme berasal dari kata fundamen, yang berarti dasar. Sedangkan secara terminologi, fundamentalisme adalah aliran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid dan literalis. Namun demikaian istilah findamentalisme sesungguhnya cukup problematis dan menimbulkan berbagai perbedaan. Istilah fundamendalisme tidak hanya terjadi pada agama tertentu. Pelabelan fundamendalisme terhadap gerakan Islam semata, seperti yang sekarang terstigma, merupakan suatu hal yang tidak tepat. Sebab, fundamentalisme dapat berlaku pada semua agama. Dalam agama Hindu, Buddha, Kong Hu Cu juga terdapat kelompok fundamentalis, yaitu mereka yang menolak butir-butir nilai liberal, saling membunuh atas nama agama, dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke urusan politik dan Negara. Fundamentalisme bukanlah monopoli agama tertentu saja.
Ekspresi dari fundamentalisme memang cukup mengerikan, berbagai macam tindakan kekerasan atas nama agama selalu terjadi, bahkan mereka mampu menggulingkan pemerintahan yang berkuasa. Kaum fundamentalisme tidak mau dipusingkan dengan istilah demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, menjaga kedamaian, kebebasan berbicara, atau pemisahan antara agama dan negara.

Sejarah Fundamentalisme
Perspektif historis dengan melacak asal-usul istilah fundamentalisme, sedikit banyak akan memberikan pemahaman memadai. Menurut Karen Amstrong, akar fundamentalisme lahir pada penghujung abad ke-15 M. Pada tahun 1492, Raja Ferdinand dan Ratu Isabelle, dua penguasa Katolik, berhasil menaklukkan Granada. Penaklukkan ini diikuti dengan pemaksaan terhadapa kaum Muslim dan Yahudi untuk konversi ke agama Katolik. Mereka yang menolak untuk konversi kemudian dideportasi atau diinkuisisi. Korban utama dalam inkuisisi ini adalah kaum Yahudi. Saat itulah kaum Yahudi memberikan respon dan perlawanan dalam bentuk gerakan-gerakan fundamental berupa organisasi perlawanan bawah tanah. Kaum Yahudi yang dipaksa pindah yang dipaksa pindah ke Kristen diajak untuk kembali kepada agama Yahudi. Namun gerakan ini terus memperoleh pengawasan yang ketat, bahkan para pelakunya dikejar-kejar oleh eksekutor inkuisisis. Dari peristiwa inilah, fundamentalisme bias hadir dalam setiap agama yang telah tercerabut dari akar doktrin agamanya melalui kekerasan.
Akan tetapi, istilah fundamentalisme pertama kali digunakan pada awal abad ke-20. Mereka yang menggunakannya adalah kaum Protestan, yang menyebut diri mereka sebagai fundamentalis. Hal ini dilakukan sebagai semacam identitas untuk membedakan diri mereka dengan kaum Protestan lainnya yang lebih liberal yang menurut pandangan mereka telah merusak keimanan Kristen. Kaum fundamentalis ini ingin kembali ke dasar dan menekankan aspek fundamental dari tradisi Kristen, yaitu suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan secara harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu. Sejak saat itulah, istilah fundamentalisme kemudian dipakai secara serampangan untuk menyebut terhadap setiap gerakan pembaharuan yang terjadi di berbagai agama dunia lainnya.
Adapun karakteristik yang menonjol pada fundamentalisme adalah skripturalaisme, yaitu keyakinan secara harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tidak ada kesalahan . Keyakinan semacam inilah yang kemudian dikembangkan menjadi gagasan dasar bahwa suatu agama harus dipegang secarah kokoh dalam bentuknya yang literal dan bulat tanpa kompromi, tanpa pelunakan, tanpa reinterpretasi, dan pengurangan.

Gerakan Fundamentalisme dan Konflik atas Nama Agama
Gerakan fundamentalime merupakan fenomena sosio-historis yang disebabkan oleh situasi sosio-politik yang diliputi oleh kesewenangan, kekerasan, kemiskinan dan ketertutupan. Gerakan ekstremisme lahir diakibatkan oleh ketidakpuasan yang berlangsung dalam tubuh masyarakat, baik dalam bentuk kezaliaman sosial, ketidakadilan ekonomi, represi budaya dan pemaksaan ideology dan politik. Gerakan ini kemudian menjadikan agama sebagai legitimasi atas segala tindakannya.
Serangan para ekstremis Islam terhadapa gedung WTC dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001 telah mengubah dunia selamanya. Presiden George W Bush merancang kampanye untuk melawan terorisme Internasional. Dia menyatakan bahwa kampanye tersebut bukanlah perang melawan Islam. Malah dia berharap mendapat dukungan dari negara-negara Muslim seperti Iran, Mesir, dan Suriah. Tapi mungkin sungguh malang, dia menyebut tanggapan terhadap terorisme itu sebagai perang Salib, kata-kata tersebut telah memancing kemarahan dari kalangan Muslim. Serangan Amerika terhadap Irak dan Afghanistan dengan dalih untuk memberantas terorisme tetap dianggap sebagai serangan Amerika terhadap dunia Islam. Serangan tersebut dikutuk di dunia Arab sebagai “al-Salibiyyah” atau perang Salib. Apalagi politik Amerika yang dianggap tidak adil dan berat sebelah terhadap negara-negara Arab dan Timur yang mayoritas muslim turut andil dalam tumbuh suburnya gerakan fundamentalisme Islam yang terus menghantui Amerika.
Sebelumnya beberapa peristiwa yang menghambat perdamaian terus terjadi. Pada tahun 1993, penandatanganan perjanjian Oslo memberi harapan bagi penyelesaian konflik Arab-Israel. Namun, pembunuhan Perdana Menteri Israel pada waktu itu, Yitzak Rabin oleh seorang pemuda Yahudi fundamentalis pada tahun 1995 menunjukkan bahwa bukannya menjadi kekuatan pendamai di wilayah itu, agama bahkan menjadi senjata ampuh untuk berjuang. Sebelumnya, kemunculan gerakan militan Islam Hamas yang untuk pertama kalinya memasukkan dimensi keagamaan pada perlawanan orang Palestina dengan gerakannya yang terkenal dengan Intifadah ini telah meyakinkan Rabin, bahwa perdamaian hanyalah satu-satunya pilihan pada saat itu. Pada tahun 1981, presiden Mesir, Anwar Sadat tewas ditembak oleh seorang fundamentalisme Muslim karena menandatangani perjanjian Camp David.
Orang Israel dan Palestina tampak berada diambang perang habis-habisan yang penuh bencana. Masing-masing dari mereka menghadapai perlawanan yang amat berbahaya dari para pemeluk fanatik agama dari kedua pihak. Para pelaku bom bunuh diri dari Hamas menyakini bahwa mereka bertempur dalam sebuah jihad dengan semangat Saladin. Di pihak Israel, para pemukim Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yang sebagaian besar datang dari Amerika, merasa terinspirasi oleh Zionisme religious, yang dalam hal kegiatannya penuh semangat pada nilai-nilai Tanah Suci, begitu mirip dengan etos Perang Salib.
Hampir satu dekade setelah peristiwa 9/11, gerakan fundamentalisme tetap marak. Gerakan fundamentalisme Islam seperti Al-Qeda tetap eksis walaupun tokoh mereka, Usama Bin Laden telah tewas dalam sebuah serangan khusus yang dilancarkan oleh pasukan Amerika Serikat di sebuah rumah persembunyiannya di Pakistan pada bulan April tahun 2011 lalu. Berbagai kelompok gerakan fundamentalis yang diduga merupakan sayap dari Al-Qaedah bermunculan. Di Afrika ada kelompok Boko Haram yang membuat kekacauan dengan mengebom gereja di Nigeria pada perayaan Natal. Di Somalia muncul kelompok As-Syabab yang selalu membuat terror di negera tersebut.
Mantan pemimpin Iraq Saddam Husein telah ditangkap dan tewas di tiang gantungan setelah diadili, namun peristiwa tersebut terkesan tidak berarti, karena justru Amerika meninggalkan konflik perang saudara berbau sektarian di Iraq setelah menduduki negara tersebut selama kurang lebih delapan tahun. Bom bunuh diri dan serangan bersenjata selalu menghantui penduduk Iraq. Perang saudara berbau sektarian antara kelompok Sunni, Syi’ah dan Kurdi seolah tiada hentinya. Inilah warisan yang diberikan Amerika Serikat kepada penduduk Iraq.
Beginilah nasib beberapa negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika yang terus dilandan konflik berkepanjangan atas nama kelompok dan agama. Perdamaian yang dicita-citakan hanya angan-angan. Ratusan bahkan ribuan nyawa manusia tak berdosa menjadi korban konflik yang tak berkesudahan.

Penutup
Pernyataan Hans Kung bahwa tidak akan ada perdamaian tanpa adanya perdamaian antar ummat beragama bukanlah isapan jempol belaka. Berbagai macam konflik di belahan dunia, baik Barat maupun Timur, terlepas dari motif-motif politik dan kekuasaan yang melatarbelakanginya selalu dikait-kaitkan dengan agama. Munculnya Fundamentalisme merupakan gejala ideologis yang muncul sebagai respon atas problem-problem globalisasi, fargmentasi, dan benturan peradaban. Problem-problem tersebut telah menciptakan ketidakadilan ekonomi, represi budaya, kezaliman sosial, ketertutupan dan pemaksaan ideologi.
Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil bentuk perlawanan terhadap segala bentuk ancaman yang dianggap membahayakan eksistensi agama, baik dalam bentuk modernitas, maupun tata nilai. Acuan atau tolak ukur untuk menilai tingkat ancamannya adalah kitab suci.

______________________________

Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia, terj. Imron Rosyidi, dkk, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2000), hal.8
Mahmud Amin al-Alim,”Al-Fikri al-Araby al-Mu’ashir bayna al-uluhiyyah wa al-Almaniyah”, dalam Al-Ushuliyyah al-Islamiyyah, (Qadhaya Fikriyah Li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1993), hal.10
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Satrio Wahono, M. Helmi dan Abdullah Ali, (Jakarta & Bandung: Serambi & Mizan, 2002)
Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal.261
Richard T. Anton, Memahami Fundamentalisme, terj. Muhammad Shodiq, (Surabaya:Pustaka Eureka, 2003) hal. 41
Mohamed Abed Al-Jabiri, Problem Peradaban, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal.136
Karen Armstrong, Perang Suci, terj. Hikmat Darmawan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semrsta, 2003),hal. 9
Kompas, 27 Desember 2011
Kompas, 16 Desember 2011

 

 

Leave a comment